Oleh: La Ode H. Ringa Jhon
(Ketua GRIB JAYA Kabupaten Muna)

REGIONNEWS.ID – Sebagai putra daerah yang lahir dan besar di Raha, ibukota Kabupaten Muna, saya merasa terpanggil untuk menyuarakan suara hati masyarakat. Sebuah keresahan yang tak bisa dibungkam oleh tawa palsu atau alasan “hanya bercanda”. Sebuah kekecewaan mendalam atas penghinaan yang dilontarkan oleh seorang perempuan berinisial DG, yang dalam siaran langsungnya menyebut, “gadis-gadis Raha jelek-jelek”.
Di tanah Muna, perempuan bukan hanya sosok, ia adalah simbol. Kalambe Wuna, sebutan terhormat untuk perempuan Muna, adalah perwujudan nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun. Mereka tumbuh dalam pelukan adat, dalam prosesi sakral seperti Karia dan Kaghombo, yang membentuk pribadi anggun, bermartabat, dan penuh tanggung jawab. Maka ketika Kalambe Wuna dihina, bukan hanya individu yang terluka bahkan seluruh sistem nilai kami tercabik.
Permintaan maaf yang terlalu jauh, terlalu ringan.
Ketika luka dibuat di Raha, tapi maaf dilempar dari Jakarta, terasa ada jarak yang disengaja. Permintaan maaf semacam itu tak menyentuh hati kami yang terluka, tak menjangkau batin kami yang tercoreng. Ia tak lebih dari formalitas dingin, tanpa ketulusan, tanpa empati. Bagi kami, ini bukan hanya soal ucapan. Ini soal tanggung jawab, baik secara moral, sosial, dan hukum.
Kami, masyarakat Muna, tidak anti maaf. Kami memahami bahwa manusia bisa khilaf. Tapi kami juga paham: maaf bukan alasan untuk menghindari konsekuensi. Luka yang ditinggalkan bukan luka remeh. Ini luka kolektif. Luka pada identitas. Maka proses hukum harus tetap berjalan, tidak boleh berhenti di tengah jalan hanya karena permintaan maaf sudah diketik dan dipublikasikan.
Keadilan tak tunduk pada kamera. Hukum tak boleh takut pada popularitas.
Siapa pun yang bermain di ruang publik, harus siap mempertanggungjawabkan kata-katanya. Ini bukan semata soal perempuan Muna. Ini soal seluruh bangsa: tentang bagaimana kita menjaga martabat budaya, tentang bagaimana kita saling menghargai dalam keberagaman yang kita banggakan sebagai Indonesia.
Saya ingin menegaskan: ini bukan soal kebencian. Ini tentang pelajaran besar bagi kita semua. Tentang bagaimana menjaga lisan di tengah kebebasan digital yang kadang liar. Tentang bagaimana setiap kata yang keluar dari mulut kita, terlebih ketika ditayangkan di ruang publik, punya dampak, punya akibat.
Kami menuntut keadilan yang adil. Kami ingin proses hukum yang transparan dan tidak tebang pilih.
Proses hukum harus dijalankan sebagai bentuk pembelajaran kolektif, agar ada efek jera dan tak ada lagi perbuatan yang merendahkan dan menghina, terlebih yang menyentuh urusan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Karena dari situlah perpecahan bangsa bisa bermula.
Dan kepada seluruh masyarakat Muna yang saya cintai, mari kita jaga marwah budaya kita dengan kepala tegak. Jangan terpancing provokasi, tapi jangan pula diam membisu. Kehormatan tidak bisa dibeli dengan kata maaf. Ia hanya bisa ditegakkan melalui tindakan nyata, oleh adat, oleh hukum, dan oleh kesadaran kolektif.
“Raha bukan kota tanpa harga diri. Muna bukan tanah yang bisa dihina lalu dilupakan.”